Artikel

PNS Sejahtera, Antara Harapan Dan Realita (Translate)

Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan profesi, sebagai mana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dewasa ini, profesi PNS menjadi profesi favorit yang didamba oleh masyarakat. Tak mengherankan jika peminat lowongan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sering kali melebihi target yang telah ditentukan. Penghasilan terutama gaji pokok PNS juga tak jarang dijadikan sebagai salah satu barometer untuk kenaikan harga bahan pokok. Beberapa tahun terakhir ketika Pemerintah menetapkan kebijakan berupa kenaikan gaji PNS maka diikuti pula kenaikan harga bahan pokok di pasaran.

Besaran gaji pokok PNS telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji PNS yang terakhir telah diubah dengan PP Nomor 34 Tahun 2014. Dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan bahwa gaji merupakan kompensasi dasar yang dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan PNS. Namun, dalam kenyataannya banyak PNS yang menjadikan gaji pokoknya sebagai jaminan pinjaman konsumtif pada lembaga perbankan. Dengan menjadikan Surat Keputusan Pengangkatan PNS sebagai agunan pinjaman bank, makagaji pokok PNS tersebut dipotong untuk pelunasan angsuran pinjaman bank setiap bulan.

Hal tersebut tentunya tidak sejalan dengan tujuan pemberian gaji yang dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan, karena ini dapat mengidentifikasikan bahwa ada kebutuhan-kebutuhan dasar yang tidak dapat dipenuhi dengan mengharap gaji bulanan tersebut. Ketika seorang PNS hanya menerima sedikit bahkan tidak lagi menerima gaji pokoknya setiap bulan karena membayar angsuran pinjaman pada bank, maka dikhawatirkan menurunkan kegairahan dalam bekerja yang akhirnya berimbas pada penurunan produktivitas kinerja PNS. Guna menambah pemasukan bulanan, tidak jarang PNS melakukan pekerjaan sampingan di luar profesinya sebagai PNS. Hal ini dikhawatirkan dilakukan pada hari kerja dan jam kerja. Guna mengantisipasi hal tersebut, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah kebijakan pimpinan SKPD masing-masing untuk membatasi pinjaman konsumtif PNS pada bank sehingga dapat mempertahankan motivasi kerja para aparatur negara tersebut.

Berbicara masalah kesejahteraan, kita akan menemui pendapat yang beragam mengenai definisi dan ukuran kesejahteraan. Berdasarkan kuisioner yang disebarkan oleh BKD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung khususnya sub bidang kesejahteraan, mayoritas pendapat PNS mengenai ukuran sejahtera adalah kondisi dimana seorang pegawai memiliki penghasilan tetap yang mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, memiliki tabungan untuk masa depan, tersedianya rumah pribadi dan kendaraan pribadi. Ukuran ini tentunya cukup tinggi jika kita melihat kisaran besaran penghasilan PNS berupa gaji pokok sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 34 Tahun 2014. Inilah yang menjadi salah satu alasan banyaknya pinjaman konsumtif ke bank yang dilakukan oleh PNS baik untuk membangun rumah, membeli kendaraan pribadi maupun untuk investasi masa depan dan membiayai pendidikan anak dalam rangka memenuhi ukuran rasa “sejahtera” tersebut.

Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2009, Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

Konsep kesejahteraan menurut Nasikun, ahli ilmu kemasyarakatan  dalam bukunya Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga (1996) dapat dirumuskan sebagai padanan makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari 4 (empat) indikator yaitu :(1) rasa aman (security), (2) kesejahteraan (welfare), (3) kebebasan (freedom), dan (4) jati diri (identity).

Sementara Biro Pusat Statistik Indonesia (2000) menerangkan bahwa guna melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuruan, antara lain adalah:

(1) Tingkat pendapatan keluarga;

(2) Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan;

(3) Tingkat Pendidikan keluarga;

(4) Tingkat kesehatan keluarga;

(5) Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.

 

Menurut Kolle (1974) dalam Bintarto (1989), kesejahteraan dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan:

1) Dengan melihat kualitas hidup dari segi materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan dan sebagainya;

2) Dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik, seperti kesehatan tubuh, lingkungan alam dan sebagainya;

3) Dengan melihat kualitas hidup dari segi mental, seperti fasilitas pendidikan, lingkungan budaya dan sebagainya;

4) Dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual, seperti moral, etika, keserasian penyesuaian dan sebainya.

 

Dari beberapa teori di atas, Penulis mencoba mendekatkan ukuran sejahtera dan membingkainya dalam realitas penghasilan PNS. Dalam pangkat dan golongan terendah PNS yaitu Juru Muda (Ia) menurut PP Nomor 34 Tahun 2014 masa kerja 0 tahun maka gaji pokok yang diterima sebanyak Rp. 1.402.400,- (Satu juta empat ratus dua ribu empat ratus rupiah). Jumlah ini masih berada dibawah Upah Minumun Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2014 yaitu sebanyak Rp. 1.640.000,- (Satu juta enam ratus empat puluh ribu rupiah).

 

Perlu Kebijakan Pemerintah Daerah

Berdasarkan Berita Resmi Statistik No. 30/05/Th.XVII, 2 Mei 2014),Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dari 82 kota Indeks Harga Konsumen (IHK), tercatat 39 kota yang mengalami deflasi dan 43 kota mengalami inflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Jayapura sebesar 1,79%, deflasi terendah di Lhokseumawe sebesar 0,01%, sedangkan untuk inflasi tertinggi terjadi di kota Pangkal Pinang sebesar 1,57%, inflasi terendah di Jember dan Samarinda sebesar 0,01%.

Dengan tingkat inflasi yang demikian tinggi, tentunya tidak mudah untuk mencapai tingkat sejahtera di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, karena harga bahan pokok yang tinggi pula. Hal tersebut diperparah pula dengan adanya kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) pada tahun ini. Kenaikan gaji PNS sebesar 6% (enam persen) tahun ini diharapakan dapat meningkatkan penghasilan PNS, namun dengan tingkat inflasi yang tinggi atau tingkat kemahalan di daerah kita, hal tersebut tidak terlalu berpengaruh secara signifikan. Kenaikan gaji pokok sebesar 6% ini dilakukan pemerintah pusat dengan memproyeksikan bahwa pada tahun 2014 tingkat inflasi diperkirakan sebesar 4,5% (empat setengah persen) sehingga peningkatan riil pendapatan yang diperoleh PNS hanyalah 1,5% (satu setengah persen). Dengan demikian, perlu adanya kebijakan pemerintah daerah untuk mendongkrak pemasukan per bulan seorang PNS terutama PNS dengan pangkat dan golongan terendah sehingga dapat memenuhi standar hidup minimal di masyarakat, salah satunya melalui kebijakan pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai.

BKD sebagai leading sektor yang membidangi kesejahteraan pegawai perlu memikirkan alternatif program kegiatan yang mampu meningkatkan kesejahteraan pegawai. Sebagaimana visi dari Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah “Terwujudnya Manajemen Kepegawaian yang Profesional dan Sejahtera dengan berbasis Teknologi Informasi”. Visi BKD ini sejalan pula dengan Komitmen BKN untuk membangun sistem manajemen PNS yang dituangkan dalam visi BKN dalam renstra 2010-2014, yaitu: Pegawai Negeri Sipil yang Profesional, Netral, dan Sejahtera. Istilah ’profesional’ dimaksudkan untuk menunjukkan kriteria pegawai yang memiliki kompetensi yang memadai sesuai dengan persyaratan suatu jabatan, bekerja dengan dedikasi yang tinggi, dan beorientasi pada prestasi kerja. Istilah ’netral’ dimaksudkan bahwa PNS bersikap netral terhadap seluruh kekuatan politik atau kekuatan tertentu lainnya sehingga dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan dan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat dilakukan secara adil dan merata, tidak membedakan suku, ras, dan agama. Sedangkan yang dimaksud dengan ’sejahtera’ adalah untuk menunjukkan bahwa penghasilan PNS dapat memenuhi tingkat hidup layak bagi diri dan keluarganya. Kesejahteraan PNS diwujudkan dengan memperhitungkan beban kerja dan prestasi kerja/produktivitas marjinal, serta didukung dengan sistem penghargaan yang adil dan rasional sehingga mampu menumbuhkan motivasi peningkatan kinerja dan terciptanya PNS yang bersih dari KKN.

Penulis mencoba memberikan contoh bentuk kegiatan kesejahteraan yang telah dilaksanakan pada BKD Provinsi Jawa Barat yaitu memberikan berbagai KesejahteraanPegawai dalam bentuk :

(a) fasilitasi kesehatanjasmani;

(b)fasilitasi pembinaan mental;

(c) pembekalan kewirausahaan bagi Pegawai;

(d) jasa pengabdian;

(e) peningkatankesejahteraan;

(f) perjalanan pindah tugas.

 

Fasilitasi kesehatan jasmani meliputi penjagaan kesehatan jasmani, perawatan, pembelian obat dengan resep, penggantian biaya perawatan/pengobatan, pemberian uangduka wafat/tewas, penggantian biaya pembelian kacamata, dan pemberian beasiswa pendidikan.  Sedangkan fasilitasi pembinaan mental meliputi pembelajaran keagamaan, ceramah umum keagamaan, dan bimbingan keagamaan. Selain itu, kesejahteraan bagi pegawai juga diberikan dalam bentuk pembekalan kewirausahaan bagi Pegawai Pra Purnabhakti yang mengajukan proposall rintisan usaha dan diberikan pula biaya rintisan usaha sebanyak Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Bagi Pegawai yang telahmenunjukkan ketaatan, kesetiaan, pengabdian, kecakapan dan kejujuran yang dibuktikan dengan penilaian prestasi kerja, tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin, tidak pernahdihukum penjara, dan lulus seleksi, dapat diberikan penghargaan pengabdian, baik berupa piagam penghargaan, medali semat maupun uang pengabdian.  Peningkatan kesejahteraan bagi Pegawai diberikan sebanyak 1 (satu) kali dalam setahun sebesar Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pegawai serta biaya pindah tugas diberikan bagi pegawai sesuai dengan wilayah kota/kabupaten tempat pindah tugas.

Sebagai seorang aparatur, kita menginginkan kesejahteraan terjamin baik selama aktif menjadi PNS maupun ketika telah menjadi Pensiunan. Namun, untuk dapat memberikan berbagai bentuk program kesejahteraan tersebut, Pemerintah perlu mengukur kemampuan daerah. Setiap pemerintah daerah tentunya memiliki kemampuan keuangan yang berbeda, sehingga berbeda pula fasilitas pelayanan kesejahteraan yang dapat diberikan. Jika Pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat memberikan berbagai bentuk fasilitas kesejahteraan pegawai sebagaimana dijelaskan di atas, hal tersebut menurut Penulis merupakan hal yang wajar mengingat kemampuan keuangan yang tinggi dimana APBD Provinsi Jawa Barat tahun 2014 sebesar Rp 21.672.560.547.550,- (dua puluh satu trilliun enam ratus tujuh puluh miliar lima ratus enam puluh juta lima ratus empat puluh tujuh ribu lima ratus lima puluh rupiah). Jumlah ini jauh berbeda dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang memiliki APBD Tahun 2014 sebesar Rp. 2.015.859.281.269,99 (dua trilliun lima belas miliar delapan ratus lima puluh sembilan juta dua ratus delapan puluh satu ribu dua ratus enam puluh sembilan sembilan puluh sembilan sen) berdasarkan Peraturan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Nomor 68 Tahun 2013.

Kendati begitu, tidak ada salahnya kita belajar dari Provinsi lain mengenai cara meningkatkan kesejahteraan pegawai melalui berbagai kegiatan fasilitas pelayanan kesejahteraan yang berdasarkan pada perundang-undangan yang berlaku dan disesuaikan dengan kondisi kemampuan keuangan pemerintah daerah kita. Mengingat jumlah belanja pegawai pada pemerintah provinsi kita masih di bawah 50% yaitu sekitar 31% maka masih memungkinkan bagi Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai melalui pemberian tambahan penghasilan pegawai. Hal tersebut perlu dilakukan demi perbaikan hidup dan pemenuhan kelayakan hidup minimal sehingga diharapkan dapat berpengaruh pula pada perbaikan kinerja pegawai. (dd/ah/BKD Babel). 04/07/2014

 

English Version

PNS Prosperous, Between Hope and Reality

 

Civil Servant (PNS) is a profession, which as mentioned in the Act No. 5 of 2014 on the Civil Administrative State. Today, the profession of civil servants became a favorite profession didamba by society. Not surprisingly, interest in vacancies candidates for Civil Servants (CPNS) often exceeds the predetermined targets. Income mainly basic salary of civil servants are also not infrequently used as a barometer for the rising prices of basic commodities. Some of last year when the government set a policy of civil servants salary increase then followed the increase in prices of basic commodities in the market.

 

The amount of the basic salary of civil servants has been stipulated in Government Regulation No. 7 of 1977 concerning the civil servants salary Regulation last amended by Government Regulation No. 34 Year 2014 In Act No. 5 of 2014 states that the base salary is compensation that is intended to ensure the welfare of civil servants. However, in reality many civil servants who make their base salaries as collateral for consumer loans in the banking institutions. By making the Decree of Appointment of civil servants as bank loan collateral, the civil servants cut makagaji principal repayment of loan installments to the bank every month.

 

It is certainly not in line with the purpose of salary that is intended to ensure the well-being, because it can identify that there are basic needs that can not be filled with hope that the monthly salary. When a civil servant receives only a little even no longer receive their base salaries each month for paying installments on the bank loan, it is feared lowering excitement in the work that ultimately impact on the decline in the productivity performance of civil servants. In order to increase monthly income, it is not uncommon civil servants doing side jobs outside the profession as a civil servant. It is feared conducted on weekdays and working hours. To anticipate this, one of the things that must be considered is the policy of each working unit heads to restrict civil consumer loans at the bank so as to maintain the motivation of the work of the state apparatus.

 

Speaking welfare issues, we will meet the diverse opinions regarding the definition and size of welfare. Based on questionnaires distributed by BKD Bangka Belitung Islands Province in particular sub-field of welfare, the majority opinion regarding the size of the welfare of civil servants is a condition in which an employee has a regular income that is able to meet the needs of daily life, have savings for the future, the availability of private homes and private vehicles . This size must be quite high if we look at the range of the amount of the income of civil servants in the form of base salary as stipulated in Government Regulation No. 34 of 2014 This has been one of the reasons many consumer loans made ​​by banks to both civil servants to build a house, buy a personal vehicle and for future investment and financing children's education in order to meet the size of a sense of "peace" is.

 

According to Law No. 11 of 2009, the Social Welfare is the fulfillment of the condition of the material, spiritual, and social life of citizens in order to be viable and able to develop themselves, so it can carry out its social function. Growing social welfare issues today shows that there is an unmet citizen the right to basic needs adequately because not obtain social services from the state. As a result, there are still citizens who are experiencing barriers to the implementation of the social functions that can not live a decent and dignified life is.

 

The concept of well-being according to Nasikun, social scientist in his Urbanisation and Poverty in the Third World (1996) can be formulated as an equivalent meaning of the concept of human dignity that can be seen from four (4) indicators, namely: (1) security (security), (2 ) well-being (welfare), (3) freedom (freedom), and (4) identity (identity).

 

While the Indonesian Central Bureau of Statistics (2000) explains that in order to see the level of household wealth of an area there are several indicators that can be used ukuruan, among others, are:

(1) The level of family income;

(2) The composition of household expenditure by comparing expenditures for food and non-food;

(3) The level of family education;

(4) The level of family health;

(5) Housing conditions and facilities owned by the household.

 

According to Kolle (1974) in Bintarto (1989), welfare can be measured from several aspects of life:

1) By looking at the quality of life in terms of material, such as the quality of the home, food and so on;

2) By looking at the quality of life in terms of physical, such as health, the natural environment and so on;

3) By looking at the quality of life in terms of mental, such as educational facilities, cultural environment and so on;

4) By looking at the quality of life in terms of spiritual, like morals, ethics, harmony and sebainya adjustment.

 

From some of the above theories, the author tried to hold the prosperous size and frame it in reality income civil servants. In rank and the lowest class of the PNS Young Interpreters (Ia) according to Regulation No. 34 of 2014, the service life of 0 years received a base salary of Rp. 1.4024 million, - (one million four hundred and two thousand four hundred dollars). This amount is below the wage Minumun Bangka Belitung Islands Province in 2014 is Rp. 1,640,000, - (one million six hundred and forty thousand dollars).

 

Need Local Government Policy

Based Press Release No. 30/05 / Th.XVII, May 2, 2014), the Central Statistics Agency (BPS) recorded from 82 cities Consumer Price Index (CPI), there were 39 cities that experienced deflation and inflation 43 cities. The highest deflation occurred in Jayapura at 1.79%, the lowest in Lhokseumawe deflation of 0.01%, whereas for the highest inflation in Louth town at 1.57%, the lowest inflation in Jember and Samarinda by 0.01%.

 

With inflation so high, of course, is not easy to reach the level of prosperity in the province of Bangka Belitung, because the price of food is high. This is also compounded by the increase in electricity tariff (TDL) this year. Civil servants salary increase of 6% (six percent) this year is expected to increase the income of civil servants, but with the high inflation rate or the level of expensiveness in our area, it is not too significant. Base salary increases of 6% is done by the central government projected that by 2014 the inflation rate was estimated at 4.5% (four and a half per cent) so that the increase in the real income of civil servants earned only 1.5% (one half percent). Thus, the need for government policy to boost revenue per month primarily a civil servant civil servant with the rank and lowest classes so as to meet the minimum standard of living in the community, such as through the provision of policy Employee Income Supplement.

 

BKD as a leading sector in charge of the welfare of employees need to think of an alternative program of activities that can improve the welfare of employees. As the vision of the Regional Employment Board of Bangka Belitung Islands is the "realization of the Professional Personnel Management and Information Technology-based Prosperous with". BKD's vision is in line with BKN commitment to building management systems as outlined in the vision of civil servants BKN in the 2010-2014 strategic plan, namely: the Professional Civil Service, Neutral, and Welfare. The term 'professional' is intended to indicate the criteria that employees have sufficient competence in accordance with the requirements of a position, working with dedication, and achievement-oriented at work. The term 'neutral' meant that civil servants be neutral towards all political forces or certain other powers so that the general duty of government and in providing services to the community can be done in a fair and equitable, not ethnicity, race, and religion. While the definition of 'peace' is to show that the income of civil servants to meet a decent standard of living for themselves and their families. Realized by taking into account the welfare of civil servants work load and work performance / productivity marginal, and supported with a reward system that is fair and reasonable so as to motivate improved performance and the creation of civil servants who clean from corruption.

 

The author tries to give examples of activities that have been carried out on the well-being of BKD West Java Province is providing various KesejahteraanPegawai in the form:

 

(a) facilitation kesehatanjasmani;

(b) the facilitation of mental development;

(c) debriefing entrepreneurship for Employees;

(d) services of devotion;

(e) peningkatankesejahteraan;

(f) the trip moved duty.

 

Facilitation of physical health include physical health care, maintenance, purchase of prescription drugs, the replacement cost of care / treatment, giving uangduka died / killed, the replacement cost of the purchase of glasses, and educational scholarships. While facilitating mental development include religious teaching, public speaking religious, and religious guidance. In addition, for the welfare of employees are also given in the form of debriefing entrepreneurship for Employees Pre NLI`s employees who filed a stub proposall effort and given also the cost of the pioneering efforts of Rp. 20.000.000, - (twenty million dollars). For Employees who telahmenunjukkan obedience, loyalty, devotion, skill and honesty as evidenced by performance appraisal, discipline never sentenced, not pernahdihukum prison, and pass the selection, devotion could be rewarded, either in the form of an award plaque, medal pin and money service. Employee welfare improvement for granted as much as 1 (one) times a year Rp2,500,000, - (two million five hundred thousand dollars) for each employee as well as the cost of moving the task given to the employee in accordance with the area of ​​the city / county where moving task.

 

As an apparatus, we want a guaranteed good welfare during active as well as civil servants have become pensioners. However, to be able to provide various forms of welfare programs, the Government needs to measure the ability of the region. Each local government must have different financial abilities, so that different welfare service facilities that can be provided. If the Provincial Government of West Java can provide various forms of employee welfare facilities as described above, according to the author it is reasonable given the high financial capacity where the West Java provincial budget in 2014 amounted to Rp 21,672,560,547,550, - (twenty one trillion six hundred and seventy billion five hundred sixty million five hundred and forty-seven thousand five hundred and fifty dollars). This amount is far different from the Provincial Government of Bangka Belitung, which had the budget in 2014 amounted to Rp. 2,015,859,281,269.99 (two trillion fifteen billion eight hundred and fifty-nine million two hundred and eighty-one thousand two hundred and sixty-nine ninety-nine cents) based on Bangka Belitung Governor Regulation No. 68 Year 2013.

 

Even so, it would not hurt us to learn from other provinces on how to improve the welfare of employees through the various activities of welfare service facilities are based on the legislation in force and according to the conditions of our financial capacity of local governments. Given the number of personnel expenditure on our provincial government is still below 50% which is about 31% then it is still possible for the local government to improve the welfare of employees through the provision of additional income employees. It is necessary for the improvement of life and fulfillment of minimum viability which is expected to also affect the improvement of employee performance. 

Penulis: 
Dina Diana
Sumber: 
BKPSDMD